Sabtu, 24 Oktober 2009

Bisnis ala Nabi

Muhammad Rasulullah, Nabi kita tercinta, adalah seorang saudagar ternama pada zamannya. Bahkan sejak usia muda, beliau dipandang sebagai sudagar sukses. Disadari atau tidak sukses tersebut tidak lepas dari aktivitas marketing yang diterapkannya --yang tak cuma ampuh tapi juga sesuai syariah dan, tentu saja, penuh ridlo dari Allah. Jika Anda tertarik menerapkannya, selain mendapat keuntungan, insyaallah bisnis Anda pun barokah. Inilah empat tips marketing a la Nabi:
1. Jujur adalah Brand
Saat berdagang Nabi Muhammad SAW muda dikenal dengan julukan Al Amin (yang terpercaya). Sikap ini tercermin saat dia berhubungan dengan customer maupun pemasoknya. Nabi Muhammad SAW mengambil stok barang dari Khadijah, konglomerat kaya yang akhirnya menjadi istrinya. Dia sangat jujur terhadap Khadijah. Dia pun jujur kepada pelanggan. Saat memasarkan barangnya dia menjelaskan semua keunggulan dan kelemahan barang yang dijualnya. Bagi Rasulullah kejujuran adalah brand-nya.
2. Mencintai Customer
Dalam berdagang Rasulullah sangat mencintai customer seperti dia mencintai dirinya sendiri. Itu sebabnya dia melayani pelanggan dengan sepenuh hati. Bahkan, dia tak rela pelanggan tertipu saat membeli. Sikap ini mengingatkan pada hadits yang beliau sampaikan, "Belum beriman seseorang sehingga dia mencintai saudaramu seperti mencintai dirimu sendiri."
3. Penuhi Janji
Nabi sejak dulu selalu berusaha memenuhi janji-janjinya. Firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman penuhi janjimu." (QS Al Maidah 3). Dalam dunia pemasaran, ini berarti Rasulullah selalu memberikan value produknya seperti yang diiklankan atau dijanjikan. Dan untuk itu butuh upaya yang tidak kecil. Pernah suatu ketika Rasulullah marah saat ada pedagang mengurangi timbangan. Inilah kiat Nabi menjamin customer satisfaction (kepuasan pelanggan). Di Indonesia mobil-mobil Toyota berjaya di pasar. Salah satu kiat pemasarannya adalah memberikan kepuasan pelanggan. Salah satu ukurannya adalah Call Centre Toyota dinobatkan sebagai call centre terbaik, mengalahkan Honda dan industri otomotif lainnya.
4. Segmentasi ala Nabi
Nabi pernah marah saat melihat pedagang menyembunyikan jagung basah di sela-sela jagung kering. Hal itu dengan Nabi, saat menjual barang dia selalu menunjukkan bahwa barang ini bagus karena ini, dan barang ini kurang bagus, tapi harganya murah. Pelajaran dari kisah itu adalah bahwa Nabi selalu mengajarkan agar kita memberikan good value untuk barang yang dijual. Sekaligus Rasulullah mengajarkan segmentasi: barang bagus dijual dengan harga bagus dan barang dengan kualitas lebih rendah dijual dengan harga yang lebih rendah. Dalam soal segmentasi ini, Yamaha Motor adalah salah satu perusahaan yang bisa dijadikan teladan. Dia menciptakan motor Yamaha Mio, dengan mesin ber-cc kecil, tapi otomatis, dan mudah penggunaannya untuk segmen pasar perempuan. Dialah pelopor industri motor yang membidiki segmen ini, segmen yang sebelumnya selalu dilupakan pesaing lain. Hasilnya, dengan Mio Yamaha menyodok Honda dan menjadi penjual nomor satu di Indonesia 2007 ini. Bisnis Mana yang Syariah? Seiring semaraknya penggunaan ekonomi syariah di Tanah Air, semakin banyak pebisnis yang meng-klaim bahwa bisnis atau usaha yang dijalankan merupakan bisnis syariah. Mulai dari bisnis penyewaan, toko, MLM, bisnis warnet, hingga bisnis hotel. Terlepas dari kebenaran bisnis tersebut dijalankan sesuai dengan prinsip syariah, hingga saat ini memang tidak ada peraturan secara umum dalam negara yang membatasi bidang apa saja yang bisa dijalankan sebagai bisnis syariah dan mana yang tidak. Kendati demikian menurut salah seorang konsultan dan pebisnis syariah Farid Ma’ruf, meski pada dasarnya semua bidang usaha bisa dijalankan sebagai bisnis syariah, namun tetap harus menjalankan beberapa prinsip sehingga benar-benar menjalankan bisnis secara syariah. “Melihat sebuah bisnis atau usaha benar secara syariah bisa dilihat dari sistemnya,” ujar Farid. Sistem yang dimaksud salah satunya adalah masalah akad. Definisi akad menurut istilahnya adalah keterikatan keinginan diri seseorang dengan keinginan orang lain dengan cara memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan. Farid mencoba memberi contoh cara yang ditempuh oleh sebuah usaha berprinsip syariah. Misalnya, jika seseorang berinvestasi menanam saham pada sebuah usaha, kemudian dijanjikan mendapatkan bagi hasil sesuai modal yang ditanamkan itu berarti tidak menjalankan bisnis syariah, karena telah termasuk riba. Semestinya bagi hasil didasarkan pada hasil usaha dan bukan modal. Ada contoh lain kegiatan bisnis yang berhubungan dengan jual beli mata uang. Sesuai fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 28/DSN-MUI/III/2002, tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf), transaksi jual beli syariah dilakukan dengan beberapa ketentuan. Pertama, jual beli dilakukan tidak untuk spekulasi. Kemudian ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan) Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). Dan apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Hal lain yang perlu diperhatikan lagi adalah komoditas yang dijadikan sebagai bisnis, berupa produk atau jasa. Jika produk/jasa yang dijadikan lahan bisnis sudah nyata tidak halal secara syariah, sudah tentu tidak dapat digolongkan dalam bisnis syariah. Setelah produk/jasa telah aman dalam hal kehalalan, selanjutnya pebisnis harus menjalankan akad dan ketentuan yang benar secara syariah. Semua dapat diketahui dengan jalan mempelajari dari ahlinya, dan saat ini tersedia banyak literatur yang bisa dijadikan rekomendasi bisnis. (SH) Oleh BHS 04 Juli 2007 wirausaha.com( fromsyariahbisnis.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar