Kerajinan Kain Perca, Para Ekspatriat pun Suka
Friday, 10 August 2007
Kerajinan PercaMelalui teknik pengerjaan dan ukuran yang berbeda dengan kerajinan perca pada umumnya, Tarti Ariyasa berhasil merangkul pelanggan lokal dan mancanegara. Russanti Lubis
Apa yang dilakukan para ibu rumah tangga ketika tetek bengek urusan rumah tangga kelar dikerjakan, suami sudah berangkat ke kantor, dan anak-anak sedang menimba ilmu di sekolah? Kumpul-kumpul, itulah jawabannya. Tapi, kegiatan khas nyonya rumah yang selalu dikonotasikan negatif ini, ternyata tidak selalu berarti demikian. Sebab, kadangkala dari ngerumpi itu muncul ide-ide kreatif yang pada akhirnya mampu menambah pundi-pundi rumah tangga.
Hal itu pulalah yang dilakukan oleh Tarti Ariyasa, pengrajin quilting dari Duri, Riau. Untuk mengisi kejenuhan setelah segala urusan rumah tangga selesai, perempuan yang terpaksa berhenti kerja karena mengikuti tugas suami ini, mengikuti kegiatan yang banyak diminati para ibu rumah tangga di kompleks kediamananya yaitu kerajinan tangan patchwork & quilting. Keterampilan ini menggunakan kain sebagai media kreasinya.
Caranya yaitu dengan menggunakan teknik potong, bentuk pola, padu padan warna warni kain, dan selanjutnya menyatukannya dengan dijahit tangan atau menggunakan mesin. Di Indonesia, keterampilan ini diartikan sebagai kemampuan menyatupadukan kain perca.
Saat Tarti menularkan keterampilan ini ke sekumpulan ibu rumah tangga, ia bertemu dengan Nita Andri dan Anda J. Gunawan yang memiliki ketertarikan yang sama terhadap kerajinan tangan tersebut.. Seminggu sekali, mereka berkumpul membuat project challenge atau membuat quilt dengan pendekatan yang berbeda baik warna, teknik pengerjaan, maupun ukuran, sehingga dihasilkan quilt yang jauh berbeda daripada standar baku.
“Dari kumpul-kumpul inilah tercetus niat untuk membuka usaha penjualan kain quilt. Karena, kain quilt sangat sulit didapat di kota terdekat. Kalau pun ada, harganya sangat mahal mengingat ini kain impor. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kain tersebut adalah dengan berbelanja langsung ke Jakarta, Bandung, atau Bali. Sebab, bila titip ke teman atau saudara, seringkali kain yang mereka belikan tidak sesuai dengan harapan.
Berlatar belakang itu, kami menjalin kerja sama dengan pemilik toko kain di tiga daerah tersebut sehingga kami bisa memasok bahan-bahan yang dibutuhkan para penggemar keterampilan ini. Selain itu, kami juga mulai mencoba menjual hasil-hasil project challenge,” katanya.
Niat awal mereka hanya ingin memperkenalkan bentuk quilt yang berbeda atau tidak standar, lebih kreatif, dan tidak mengikuti pakem-pakem yang sudah ada atau quilt ala Amerika, Australia, Jepang, atau Eropa. “Kami mencoba memberi sentuhan Indonesia dengan menggunakan warna warni tropis, batik Jawa, batik Bali, dan sebagainya. Mula-mula juga cuma seukuran selimut bayi, sarung bantal, dan lain-lain. Para pembelinya pun masih sebatas teman-teman dekat. Tapi, lumayan, karena ternyata ada yang senang dengan quilt kami,” ujarnya.
Untuk membangun usaha penjualan kain quilt yang kemudian diberi “merek” Kain (sekadar agar gampang diingat, red.), tiga serangkai ini mengeluarkan modal Rp4,5 juta. Keuntungan dari bisnis ini mereka gunakan untuk membuat kartu nama, panel display, dan label yang dipasang di produk mereka.
Sedangkan modal untuk membuat quilt, mengingat peralatannya masih impor, mereka harus mengumpulkannya sedikit demi sedikit dari sisa uang belanja. “Bahkan, untuk menyatukan kain-kain quilt, pada mulanya saya menggunakan mesin jahit pemberian orang tua. Segala sesuatunya mulai dari mendesain sampai menjahit dilakukan sendiri. Untuk hasil akhirnya, kami dibantu seorang quilter atau seseorang yang bertugas menyatukan tiga lapis bahan dengan cara dijahit tangan,” jelasnya.
Dalam perkembangannya, bisnis quilt yang dibangun pada 2004 ini menghasilkan hiasan dinding, bed cover, selimut sofa, selimut bayi dan anak-anak, serta sajadah dengan aneka bentuk, ukuran, dan desain. Di samping itu, juga penambahan dua karyawan dan 10 quilter, sehingga setiap bulan Tarti mampu menghasilkan empat bed cover dan tiga hiasan dinding aplikasi.
Produk yang ditawarkan dengan harga Rp350 ribu hingga Rp4 juta (tergantung pada motif, penggunaan kain, dan teknik pengerjaan, red.) ini, pada 2005 diikutkan dalam berbagai pameran di Jakarta untuk memperkenalkan diri, memberi alternatif bentuk quilt yang berbeda, sekaligus menjaring pembeli.
Selain itu, produk yang telah tersebar ke seluruh Indonesia dan (melalui buyer) ke mancanegara ini, juga dipasarkan dengan sistem dari mulut ke mulut. “Maklum, kami belum mempunyai outlet. Jadi, kami hanya menggunakan sebagian teras rumah kami sebagai tempat untuk menjual produk kami, sekaligus tempat untuk mengajar dan bertemu dengan pembeli,” kata wanita yang berangan-angan memiliki studio kerja dan tempat kursus quilt merangkap toko ini.
Omsetnya? “Tergantung dari banyak sedikitnya pemesanan atau pembelian dan pameran yang diikuti. Biasanya setelah pameran, banyak permintaan yang datang. Apalagi pesanan dari kalangan ekspatriat yang biasanya datang pada Bulan Juni atau Desember.
Saya memiliki 15 pembeli dan sekitar tiga pemesan yang rutin membeli atau memesan produk saya. Setiap orang minimal memesan lima produk. Jadi, setiap bulan rata-rata omset yang saya raup baru mencapai tujuh dijit, maklum di Indonesia produk semacam ini termasuk barang baru dan untuk penggunaan jangka panjang,” kilah Tarti yang sekarang single fighter menjalankan bisnis ini, karena kedua koleganya mengikuti suami mereka yang ditugaskan ke luar negeri.
“Tapi, mereka tetap membantu saya dengan memasok peralatan seperti benang, jarum, dan lain-lain yang memang masih harus diimpor,” imbuhnya. Ibarat pepatah, sehari selembar benang, lama-lama menjadi kain, demikian pula dengan usaha quilting yang ditekuni Tarti. Bukankah sesuatu yang besar atau banyak selalu berasal dari yang kecil atau sedikit?
© 2009 Majalah Pengusaha - Peluang Usaha dan Solusinya
JUST ORDINARY BLOGGER
Sabtu, 24 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar